Hariannews, Nasional – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor Nomor 31/1999 jo. UU 20/2001) yang menyoroti Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3.
Kedua pasal ini dinilai terlalu luas dan ambigu dalam penafsiran, sehingga berpotensi menjerat warga biasa yang tidak seharusnya tersangkut kasus korupsi.
Baca Juga : Pertamina Fasilitasi Penukaran Tabung LPG 3 Kg ke Tabung 5,5 Kg dengan Prosedur Mudah
Mantan Wakil Ketua KPK, Chandra Hamzah, sebagai ahli hukum dalam sidang, mengkritik pasal yang menyebut
“setiap orang … memperkaya diri sendiri … yang dapat merugikan keuangan negara” (Pasal 2 ayat 1) dan “setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan” (Pasal 3).
Menurutnya, frasa tersebut terlalu kabur dan tidak memenuhi asas lex certa (kejelasan hukum).
Ia memberi contoh ekstrem, seorang pedagang kaki lima seperti penjual pecel lele di trotoar bisa dianggap koruptor karena “memperkaya diri” atau “mengganggu fasilitas publik”, meski tidak ada kerugian negara yang jelas.
Chandra mengusulkan agar Pasal 2 ayat (1) dihapus karena melanggar prinsip hukum yang jelas, dan Pasal 3 direvisi agar hanya berlaku bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara, sesuai rekomendasi Konvensi PBB Anti-Korupsi (UNCAC) Artikel 19.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menegaskan bahwa penafsiran hukum harus didasarkan pada alasan yang jelas dan logika umum (notoire feiten).
Ia menyinggung bahwa pedagang pecel lele jelas tidak memiliki kapasitas untuk merugikan keuangan negara, sehingga tidak masuk kategori koruptor.
Baca Juga : Pegawai Disnaker Sampang All Out Siapkan Bahan Pelatihan untuk Peserta
KPK menekankan pentingnya penafsiran hukum yang hati-hati agar UU Tipikor tidak disalahgunakan.
Sidang ini memicu debat serius tentang lingkup UU Tipikor. Jika tidak direvisi, pasal-pasal yang ambigu berisiko menjerat masyarakat biasa.
MK kini dihadapkan pada tugas menyeimbangkan kepastian hukum dengan upaya pemberantasan korupsi yang efektif.